Thursday, June 11, 2009

Money Illusion

Anda yang saat ini menyimpan uang pada deposito perbankan, perlu peduli tentang topik ini: money illusion. Ilusi uang. Begini penjelasannya. Uang Rp300 juta Anda depositokan di bank dengan bunga 10% per tahun. Berarti bunga bersihnya 8% karena ada pajak 20% atas bunga.

Setelah lima tahun uang Anda sudah beranak pinak menjadi sekitar Rp440,8 juta. Jika nominal uang dipakai sebagai ukuran, maka uang Anda bertambah banyak hampir satu setengah kali lipat! Pertanyaannya: apakah berarti pula Anda telah beruntung satu setengah kali lipat dari lima tahun sebelumnya?

Mungkin Anda termasuk salah satu yang serta merta menjawab ’ya’, karena Rp440,8 juta memang hampir satu setangah kali Rp300 juta. Ekonom tidak akan serta merta menjawab ‘ya’. Bisa jadi Anda sedang merugi. Tengoklah dahulu seberapa besar peningkatan harga-harga barang selama lima tahun itu.

Jika tahun ini kita dapat membeli sepiring nasi goreng Rp5 ribu, tetapi lima tahun ke depan harga sepiring nasi goreng yang sama menjadi Rp10 ribu, maka ekonom akan menjawab Anda merugi. Jika harga barang-barang lain bergerak hampir sama sebagaimana nasi goreng tadi, berarti selama lima tahun itu harga telah meningkat dua kali lipat.

Berarti walaupun jumlah nominal uang Anda naik satu setengah kali lipat menjadi Rp440,8 juta, sejatinya nilai riil uang Anda tinggal Rp220,4 juta. Lebih rendah dari uang Anda semula Rp300 juta. Anda merugi. Ini gambaran sederhana ilusi uang. Seseorang mungkin merasa nyaman, berfikir kekayaannya tidak berkurang, bahkan merasa meningkat beberapa lipat, padahal sedang merugi, tanpa disadari. Fenomena ini dialami oleh banyak orang.

Skenario yang kita susun di atas memang terkesan ekstrim: selama lima tahun harga meningkat dua kali lipat. Ini memang untuk memudahkan kita segera menangkap fenomena tipuan nominal uang kekayaan kita. Walaupun begitu, ini juga bukan contoh asal-asalan. Membuka catatan lama, situasi seperti ini pernah terjadi pada perekonomian Inggris sekitar 1975-1980. Inflasi sangat tinggi di atas 15%, sementara suku bunga simpanan maupun pinjaman sekitar 7% - 8%.

Dalam situasi inflasi tinggi sementara suku bunga bank rendah sebagaimana skenario kita tadi, alih-alih disimpan dalam deposito, akan lebih bijak jika uang Rp300 juta dibelikan rumah. Bertahan dengan skenario yang sama, maka setelah lima tahun harga rumah menjadi Rp600 juta. Ingat, dalam skenario kita, harga meningkat dua kali lipat selama lima tahun, sehingga kita anggap kenaikan harga rumah segaris dengan harga barang lain.
 

Secara nominal uang Anda membengkak dua kali lipat dari Rp300 juta menjadi Rp600 juta selama lima tahun, tetapi sebenarnya Anda hanya dalam kondisi impas. Pasalnya, nilai riil uang Anda pada saat itu bukan Rp600 juta tetapi Rp300 juta. Walaupun tidak untung, situasi ini lebih baik dibanding menyimpan uang pada deposito, yang dalam contoh di atas nilai riil uang anda turun menjadi Rp220,4 juta. Hitung-hitungan kita ini juga belum memasukkan tambahan keuntungan dari nilai sewa rumah selama lima tahun.

Kini kita tahu kenapa sering kita dengar orang mengatakan: salah satu keunggulan investasi di sektor properti adalah kemampuannya meredam inflasi. Cerita sederhana di atas itulah penjelasannya.

Sampai di sini semoga tulisan ini tidak disalahpahami bahwa investasi pada properti pasti lebih untung dibanding deposito. Bukan demikian. Dengan menggunakan kerangka pikir ilusi uang, Anda tentu akan lebih bijak menentukan pada jenis investasi apa uang Anda harus diparkir.

Pemahaman fenomena ilusi uang juga membantu kita menjelaskan kenapa makin hari uang gaji kita makin tidak cukup untuk kebutuhan sebulan. Tiga tahun lalu kita masih bisa menyisihkan sebagian untuk cadangan. Sekarang, untuk bisa tidak tombok saja perlu perjuangan ekstra.

Bagi yang telah terlanjur menganggap istri makin boros, ada baiknya berpikir ulang. Hati-hati. Boleh jadi Anda terkena ilusi uang: merasa penghasilan tidak mengalami penurunan, padahal sebenarnya turun dari segi kemampuan daya belinya.
 
Source: Dari majalah housing estate...

Cost Of Capital

Senang. Begitu kira-kira yang dirasakan saudara-saudara kita ketika memiliki rumah baru. Terlepas apakah rumah itu benar-benar baru atau rumah setengah pakai. Salah satu yang membuat senang adalah terbebas dari membayar biaya rutin tahunan kepada pemilik rumah: uang sewa.
Begitupun yang baru membeli rumah kedua, ketiga, keempat. Perasaan senang itu tetap ada, walaupun kadarnya sedikit berkurang. Senang, karena merasa makin kaya. Betul. Rumah adalah salah satu bentuk kekayaan. Memiliki banyak rumah berarti semakin banyak kekayaan.

Yang kadang terlewat dipikirkan, setiap Anda memiliki tambahan kekayaan, sebenarnya pada saat yang sama Anda sedang mengundang tambahan biaya. Bukan biaya untuk membeli kekayaan itu. Untuk memiliki rumah pasti Anda harus mengeluarkan biaya, Rp400 juta misalnya. Bukan Rp400 juta itu yang dimaksud di sini. Tapi, biaya per tahun yang harus Anda tanggung setelah memiliki rumah tersebut. Dalam jargon ekonomi disebut cost of capital. Semoga Anda ingat konsep ini.

Begini, kalau uang Rp400 juta itu tidak Anda belikan rumah dan dibiarkan saja di bank, tentu setahun kemudian uang tersebut menghasilkan bunga. Misalnya, bunga setelah pajak 6%. Maka, dengan memiliki rumah itu Anda kehilangan kesempatan memperoleh penghasilan bunga Rp24 juta. Bunga, itulah komponen pertama cost of capital.

Komponen kedua: biaya perawatan, perbaikan, utilitas, yang mungkin kisarannya Rp1 juta sebulan, yang berarti Rp12 juta setahun atau 3% dari harga rumah. Komponen ketiga pajak (PBB), yang jumlahnya cukup murah sekitar Rp400 ribu atau 0,1% dari harga rumah. Komponen keempat, asuransi yang besarnya bervariasi tergantung jenis pertanggungannya. Kita ambil yang sedang saja, 1% atau Rp4 juta. Komponen kelima, penyusutan rumah sekitar 2% atau Rp8 juta.

Jika dijumlahkan 24+12+0,4+4+8 sama dengan Rp48,4 juta. Angka ini selanjutnya dikurangi potensi keuntungan dari peningkatan harga rumah dalam setahun. Angkanya mungkin sekitar 8% setelah pajak BPHTB. Dalam rupiah berarti Rp32 juta.

Kini Anda selesai memperkirakan cost of capital atas rumah Anda, yaitu Rp48,4 juta – Rp32 juta sama dengan Rp16,4 juta, atau sekitar 4,1% dari nilai rumah. Itulah biaya Anda memiliki rumah seharga Rp400 juta selama setahun. Apakah rumah itu Anda huni sendiri atau disewakan, tetap saja Anda menanggung biaya tersebut. Beberapa komponen cost of capital seperti asuransi, perawatan, perbaikan, utilitas, PBB adalah biaya-biaya kasat mata yang memang harus Anda keluarkan dari dompet. Sementara biaya bunga, biaya penyusutan, dan keuntungan jika dijual kembali, tidak kasat mata, tidak benar-benar keluar dari dompet Anda, tapi tetap harus diperhitungkan karena sejatinya Anda menanggungnya.

Kini Anda dapat menghitung cost of capital atas kekayaan Anda yang lain. Kalau Rp400 juta tadi Anda belikan apartemen, beberapa komponen biaya seperti perawatan, perbaikan, utilitas, asuransi dan penyusutan perlu disesuaikan. Jumlahnya tentu lebih tinggi dari rumah tinggal. Perhitungannya mungkin: bunga 6%; perawatan, perbaikan, utilitas 5%; asuransi 2%; penyusutan 3%; PBB 0,1%. Total 16,1%. Setelah dikurangi peningkatan harga jika dijual kembali 8%, cost of capital apartemen Anda adalah 8,1% atau Rp32,4 juta. Sekali lagi, apakah apartemen itu Anda huni sendiri atau disewakan, tetap saja Anda menanggung biaya memiliki apartemen itu. Cost of capital.

Jika rumah atau apartemen disewakan, cost of capital tadi dapat Anda alihkan kepada penyewa. Karena itu supaya tidak merugi, harga sewa yang Anda tetapkan minimal sebesar cost of capital tadi. Coba Anda tengok hitung-hitungan di atas. Cost of capital rumah Rp400 juta itu Rp16,4 juta. Selanjutnya lihat harga sewa rumah Rp400 jutaan di pasaran, sekitar Rp16 juta juga, bukan? Lihat juga cost of capital apartemen Rp400 juta itu, yaitu Rp32,4 juta. Kemudian lihat harga sewa apartemen Rp400 jutaan di pasaran, sekitar Rp32 juta juga, bukan? Demikianlah, konsep-konsep ilmu ekonomi membantu kita dalam mengambil keputusan sehari-hari dengan lebih baik.
 

Sekarang Anda juga dapat menghitung berapa cost of capital memiliki mobil Rp150 juta. Silakan hitung. Bunga 6%, pajak 1%, asuransi 3%, perawatan/perbaikan Rp1 juta per bulan atau 8% per tahun, penyusutan 6%. Jumlahnya 25%. Jumlah itu seharusnya dikurangi dengan peningkatan nilai mobil. Kenyataannya, harga jual mobil itu setahun kemudian biasanya malah turun, misalnya sekitar 8%. Maka, cost of capital mobil Rp150 juta itu 25% + 8% sama dengan 32%. Jika dirupiahkan Rp48juta! Itulah biaya yang harus Anda tanggung per tahun dari mobil Rp150 juta. Sebagian kita mungkin tidak menyadarinya. Makin mewah mobil yang kita miliki, makin tinggi cost of capital-nya.

Tentunya kini Anda juga dapat menganalisis kenapa perusahaan tempat Anda bekerja, terutama perusahaan besar/asing, lebih memilih menyewa mobil kijang Rp4 juta per bulan atau Rp48 juta pertahun, ketimbang membelinya. Juga kenapa perusahaan itu memilih memberi voucher taxi Rp100 ribu per hari daripada membelikan Anda mobil.

Source: Dikutip dari majalah Housing Property Oleh Heru Narwanto...